Sabtu, 08 Mei 2010

PERANAN TALUS LICHENES SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA OLEH BAHAN BAKAR MINYAK YANG MENGANDUNG TIMBAL (Pb)

PERANAN TALUS LICHENES SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA OLEH BAHAN BAKAR MINYAK YANG MENGANDUNG TIMBAL (Pb)
(Studi Kasus: Akumulasi Timbal (Pb) Pada Talus Lichenes di Kota Pekanbaru)






DOSEN PEMBIMBING :
NOPI STIYATI P., S.Si, M.T


OLEH :
M. SADIQUL IMAN H1E108059



PROGAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU

2010

ABSTRACT
Air pollution is increasingly showing up very alarming condition. Source of air pollution can come from many activities including industries, transportation, offices, and homes. Motorcycle’s fuel in Indonesia until now, still contains lead concentrations that high enough.
On that condition using Lichenes thallus as bioindikator monitoring of the presence of contaminants (pollutants) in the air can be used as a solution to be able to predict the possible impact of earlier that can be caused by leads (Pb) in the future.
This research conducted in the province Pekanbaru in 2003, at the three locations were selected purposively based on the level of traffic density, which is on Sudirman street in front of the Dang Merdu Hall (1st location) with higher category of traffic density, then Sudirman street in front of Purna MTQ (2nd location) with the medium traffic density and last Soebrantas street (3rd location) with low category of traffic density.
Relative humidity of air has the strongest correlation to the accumulation of leads in the Lichenes thallus. In addition there is also correlation between traffic density, air temperature, sampling distance and light intensity on Pb accumulation in the Lichenes thallus.
Air pollution management that caused by lead gasoline must include some control which aims to prevent and cope the air pollution, and also restoration of air quality by identifying the ambient air quality, pollution prevention at source that is motorcycle that still use lead gasoline. And of course it is hoped that the management of air environment in the future will be better than now.

Keyword: Lichenes thallus, management of air pollution, lead (Pb)
ABSTRAK
Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Bahan bakar kendaraan bermotor di Indonesia sampai saat ini sebagian kecil masih mengandung konsentrasi timbal yang cukup tinggi.
Atas dasar tersebut penggunaan bioindikator talus Lichenes sebagai monitoring terhadap keberadaan bahan pencemar (polutan) di udara dapat dijadikan sebagai solusi untuk dapat memprediksi lebih awal kemungkinan dampak yang dapat ditimbulkan oleh polutan Pb di masa yang akan datang.
Penelitian dilakukan di Provinsi Pekanbaru pada tahun 2003, pada tiga lokasi yang dipilih secara purposive berdasarkan tingkat kepadatan lalu lintas, yaitu di Jalan Sudirman di depan Balai Dang Merdu (lokasi I) dengan tingkat kepadatan lalu lintas kategori tinggi, Jalan Sudirman di depan lokasi Purna MTQ (lokasi II) dengan tingkat kepadatan lalu lintas kategori sedang dan Jalan Soebrantas (lokasi III) dengan tingkat kepadatan lalu lintas kategori rendah.
Kelembaban Relatif udara mempunyai korelasi yang paling kuat terhadap akumulasi Pb pada talus Lichenes. Selain itu ada pula hubungan korelasi antara kepadatan lalu lintas, suhu udara, jarak pengambilan sampel serta intensitas cahaya terhadap akumulasi Pb pada talus Lichenes.
Pengelolaan pencemaran udara yang diakibatkan oleh bensin bertimbal ini tentunya meliputi beberapa pengendalian yang mana bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran udara, serta pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan di sumber pencemar yaitu kendaraan bermotor yang masih menggunakan bensin bertimbal. Dan tentunya dengan cara ini diharapkan pengelolaan lingkungan udara di masa yang akan datang menjadi lebih baik dari sekarang.

Kata Kunci: talus Lichenes, pengelolaan pencemaran udara, timbal (Pb)

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Berbagai kegiatan tersebut merupakan kontribusi terbesar dari pencemaran udara yang dibuang ke udara bebas. Dampak dari pencemaran udara tersebut adalah menyebabkan penurunan kualitas udara, yang berdampak negatif terhadap kesehatan manusia.
Kemacetan kendaraan bermotor di Indonesia yang menjadi salah satu kegiatan transportasi sudah menjadi pemandangan yang biasa, apalagi di kota-kota besar pada khususnya. Tentunya kemacetan ini membuat masalah baru bermunculan, antara lain penggunaan bahan bakar minyak (BBM), khususnya bensin menjadi meningkat. Sehingga dengan penggunaan bensin sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, menyebabkan permasalahan pencemaran udara menjadi tidak dapat kita hindari.
Bahan bakar kendaraan bermotor di Indonesia sampai saat ini sebagian kecil masih mengandung konsentrasi timbal yang cukup tinggi. Menurut spesifikasi resmi Ditjen Migas (Santi, 2001), kandungan maksimum timbal dalam bahan bakar yang diizinkan adalah 0,45 gram perliter. Sementara, menurut ukuran internasional, ambang batas maksimum kandungan timbal adalah 0,15 gram per liter. Timbal, atau Tetra Etil Lead (TEL) yang banyak pada bahan bakar terutama bensin, diketahui bisa menjadi racun yang merusak sistem pernapasan, sistem saraf, serta meracuni darah.
Atas dasar tersebut maka perlu adanya pengelolaan dan penanggulangan pencemaran udara yang diakibatkan oleh bahan bakar bensin yang masih mengandung konsentrasi timbal yang cukup tinggi. Penggunaan bioindikator talus Lichenes sebagai monitoring terhadap keberadaan bahan pencemar (polutan) di udara dapat dijadikan sebagai solusi untuk dapat memprediksi lebih awal kemungkinan dampak yang dapat ditimbulkan oleh polutan Pb di masa yang akan datang.

Batasan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah yaitu: apakah penggunaan bioindikator talus Lichenes sebagai monitoring terhadap keberadaan bahan pencemar (polutan) di udara sangat efektif dalam memprediksi kemungkinan dampak yang dapat ditimbulkan oleh polutan Pb di masa yang akan datang ?. Serta bagaimana cara mengurangi pencemaran udara yang diakibatkan oleh timbal (Pb) dan pengelolaan kualitas lingkungan udara yang berkelanjutan di masa mendatang.

Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi awal pencemaran udara yang diakibatkan oleh bahan bakar minyak yang mengandung timbal (Pb). Selain itu mengetahui akumulasi timbal (Pb) pada talus Lichenes, serta memberikan gambaran betapa pentingnya menjaga kualitas lingkungan udara.

Metode Penulisan
Dalam pembuatan tulisan ini, metode yang digunakan adalah metode kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data-data dari literatur-literatur dan jurnal penelitian yang bersangkutan dengan pencemaran lingkungan udara khususnya pencemaran oleh timbal (Pb), serta penggunaan talus Lichenes sebagai bioindikator pencemaan udara dan bagaimana pengendalian pencemaran udara tersebut. Selain itu pengumpulan data juga di dapat dari pencarian informasi-informasi dari internet.

TINJAUAN PUSTAKA
Pencemaran Udara dan Kualitas Udara di Indonesia
Berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.
Pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia berdampak besar terhadap penurunan kualitas udara secara nasional. Berdasarkan laporan Environmental Performance Index tahun 2006 yang disusun oleh Universitas Yale menunjukkan kualitas udara Indonesia berada di posisi seratus dua puluh empat (124) dengan skor 25,1 dari seratus tiga puluh tiga (133). Uganda adalah negara yang memiliki kualitas udara paling bagus dengan skor 90,0, sedangkan Bangladesh adalah negara yang memiliki kualitas udara paling buruk dengan skor 6,9. Berdasarkan hasil pemantauan kualitas udara tahun 2004 yang dilakukan KNLH di sepuluh kota besar di Indonesia menunjukkan kualitas udara berkisar antara tidak sehat sampai sehat, kecuali Palangkaraya yang mengalami beberapa hari sangat tidak sehat (dua hari) dan berbahaya (lima hari). Pemantauan kualitas udara secara nasional dilakukan oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup dengan menggunakan peralatan air quality monitoring station (AQMS) yang ditempatkan di sepuluh kota besar di Indonesia yaitu: Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Medan, Denpasar, Pontianak, Palangkaraya, Pekanbaru, dan Jambi. Sistem pemantauan tersebut memantau konsentrasi CO, SO2, NOx, O3, dan PM10. Data yang diperoleh digunakan untuk menghitung indeks standar pencemaran udara (ISPU) dan ditampilkan pada papan display ISPU yang tersebar di beberapa lokasi di kota-kota tersebut di atas (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2007).

Perkiraan hasil studi Bank Dunia tahun 1994 (Indonesia Environment and Development) menunjukkan bahwa kendaraan di Jakarta (diperkirakan kondisi yang sama terjadi pada kota-kota besar lainnya) memberikan kontribusi timbal (Pb) 100%, SPM10 42%, hidrokarbon 89%, nitrogen oksida 64% dan hampir seluruh karbon monoksida.
Hasil kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia (th. 1996) tentang kerugian akibat pencemaran udara di kota Jakarta, mencapai sekitar $ 200 juta USA/tahun untuk seluruh jumlah penduduk Jakarta, sementara hasil kajian yang dilakukan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan (tahun 1999) dengan metoda wawancara (dilakukan di kota Bandung dan Surabaya) menyimpulkan bahwa setiap orang mengeluarkan biaya kesehatan rata-rata Rp. 30.000/orang/th akibat pencemaran udara (Gunawan, 2007).

Sumber Pencemaran Udara
Sumber pencemaran udara dapat dikategorikan atas sumber bergerak dan sumber tidak bergerak, yang meliputi sektor transportasi, industri, dan domestik. Sumber pencemaran udara adalah:
1. Kualitas bahan bakar, emisi kendaraan bermotor, dan emisi industri.
Kualitas bahan bakar berpengaruh terhadap kualitas emisi. Kendaraan bermotor dan kegiatan industri merupakan salah satu sumber pencemaran udara. BBM berupa bensin bertimbal dan solar dengan kandungan belerang tinggi menyebabkan pembakaran dalam mesin tidak sempurna. Hasil pembakaran tersebut berupa polutan yaitu CO, HC, SO2, NO2, dan partikulat. Sebagian besar industri di Indonesia mengunakan bahan bakar Marine Fuel Oil (MFO) dibandingkan High Speed Diesel (HSD), minyak tanah, dan Industrial Diesel Oil (IDO). Kandungan belerang dalam MFO di Indonesia lebih tinggi dibandingkan HSD, minyak tanah, dan IDO menyebabkan MFO menghasilkan polutan SO2 lebih tinggi dibandingkan bahan bakar lainnya.
2. Sistem transportasi dan manajemen lalu lintas.
Sistem manajemen transportasi yang belum baik antara lain kurang memadainya angkutan masal menyebabkan pemakaian kendaraan pribadi meningkat. Di samping itu, manajemen lalu lintas yang belum baik antara lain ditandai dengan meningkatnya kemacetan. Meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi dan kemacetan yang timbul menyebabkan meningkatnya emisi gas buang.
3. Sumber pencemaran lainnya.
Pencemaran lainnya berasal dari aktivitas domestik dan penggunaan bahan bakar untuk keperluan rumah tangga, pembakaran sampah secara terbuka, saluran air buangan, dan penguapan bahan bakar saat pengisian di stasiun pengisian bahan bakar (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2007).

Dampak Pencemaran Udara
Pencemaran udara berdampak pada kesehatan, tumbuhan, bangunan, ekonomi, dan pemanasan global.
1. Dampak pencemaran udara terhadap kesehatan.
Rendahnya kualitas udara di dalam maupun di luar rumah menyebabkan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan gangguan saluran pernafasan lainnya. Penyakit tersebut menduduki peringkat pertama yang dilaporkan oleh pusat-pusat pelayanan kesehatan.
2. Dampak pencemaran udara terhadap tumbuhan.
Kualitas udara merupakan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan vegetasi. Beberapa studi menunjukkan tumbuhan yang ditanam sepanjang jalur jalan utama di kota, tingkat pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan di luar kota.
3. Dampak pencemaran udara terhadap bangunan.
Kepadatan area perkotaan, asap, dan partikel udara yang berasal dari kendaran bermesin diesel menyebabkan kotornya permukaan bangunan. Gabungan hal tersebut mempercepat pengikikisan bangunan.
4. Biaya ekonomi akibat pencemaran udara.
Beberapa studi untuk menghitung kerugian ekonomi yang disebabkan oleh pencemaran udara adalah sebagai berikut:
a. Studi yang dilaksanakan Jakarta Urban Development Project (JUDP) tahun 1994 memperkirakan kerugian ekonomi yang disebabkan penurunan IQ anak-anak tahun 1990 mencapai Rp176 milyar;
b. Studi yang dilakukan Bank Dunia tahun 1994 memperkirakan kerugian ekonomi yang disebabkan polusi udara di Jakarta sebesar Rp500 milyar yang diperhitungkan dari 1.200 kematian prematur, 32 juta masalah pernapasan, dan 464.000 kasus asma;
c. URBAIR tahun 1997 melaporkan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh PM10 dan Pb mencapai Rp1 trilyun;
d. ADB RETA tahun 1997 memperkirakan dampak kerugian ekonomi disebabkan PM10, NO2, dan SO2 di Jakarta tahun 1998 masing-masing sebesar Rp1,7 trilyun, Rp41,7 milyar, dan Rp1,8 trilyun.
e. SITRAMP tahun 2004 melaporkan kerugian ekonomi sebagai akibat dari waktu tempuh yang lebih lama untuk jarak tertentu mencapai Rp2,5 trilyun per tahun dan meningkat menjadi Rp5,5 trilyun dengan memperhitungkan meningkatnya biaya operasional kendaraan sebagai dampak dari kemacetan.
5. Dampak pencemaran udara terhadap pemanasan global.
Pemanasan global merupakan peningkatan secara gradual dari suhu permukaan bumi yang sebagian disebabkan oleh emisi dari zat-zat pencemar seperti karbondioksida (CO2), metan (H4) dan oksida nitrat (N2O). Zat-zat pencemar tersebut berkumpul di atmosfir membentuk lapisan tebal yang menghalangi matahari dan menyebabkan pemanasan planet dan efek rumah kaca. Pembangkit listrik, industri, dan kendaraan bermotor merupakan sumber utama penghasil CO2. Studi pengembangan strategi nasional tentang mekanisme pembangunan berkelanjutan memperkirakan Indonesia akan mengkontribusi 672 juta ton CO2 tahun 2004, meningkat 200% dibandingkan tahun 2000 akibat pemakaian energi pada sektor-sektor tersebut (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2007).

Pencemaran Udara Oleh Timbal (Pb)
Pencemaran oleh Timbal (Pb) dapat terjadi di udara, air maupun tanah. Kandungan timbal di dalam tanah rata-rata 16 ppm, tetapi pada daerah-daerah tertentu mungkin dapat mencapai beberapa ribu ppm. Kandungan timbal di udara seharusnya rendah bila nilai tekanan uapnya rendah. Untuk mencapai tekanan uap 1 torr, timbal atau komponen-komponen timbal membutuhkan suhu lebih dari 800°C; berbeda dengan merkuri, di mana tekanan uap 1 torr dapat dicapai pada suhu yang jauh lebih rendah, yaitu 126°C.
Timbal banyak digunakan untuk berbagai keperluan karena sifat-sifatnya, yaitu sebagai berikut:
 Titik cairnya rendah sehingga jika akan digunakan dalam bentuk cair maka hanya membutuhkan teknik yang sederhana dan murah.
 Timbal merupakan logam yang lunak sehingga mudah diubah ke berbagai bentuk.
 Sifat kimia timbal menyebabkan logam ini dapat berfungsi sebagai lapisan pelindung jika kontak dengan udara lembab.
 Timbal dapat membentuk alloy dengan logam lainnya, dan alloy yang terbentuk mempunyai sifat yang berbeda dengan timbal yang murni.
 Densitas timbal lebih tinggi dibandingkan dengan logam lainnya, kecuali bila dibanding dengan emas dan merkuri (Kristanto,2002).

Penggunaan timbal dalam bahan bakar semula tak lain tak bukan adalah untuk meningkatkan oktan bahan bakar. Penambahan kandungan timbal dalam bahan bakar, dilakukan sejak sekitar tahun 1920-an oleh kalangan kilang minyak. Timah hitam yang keluar dari knalpot dalam bentuk partikel yang sangat halus, adanya polutan Pb karena pada bensin diberikan bahan tambah berupa Pb (C2H5)4 yaitu Tetra Etil Lead (TEL) sebagai upaya untuk meningkatkan angka oktan. Selain meningkatkan oktan, juga dipercaya berfungsi sebagai pelumas dudukan katup mobil (produksi di bawah tahun 90-an), sehingga katup terjaga dari keausan, lebih awet, dan tahan lama.
Penggunaan timbal dalam bensin lebih disebabkan oleh keyakinan bahwa tingkat sensitivitas timbal tinggi dalam menaikkan angka oktan. Setiap 0,1 gram timbal perliter bensin, menurut ahli tersebut mampu menaikkan angka oktan 1,5 sampai 2 satuan. Selain itu, harga timbal relatif murah untuk meningkatkan satu oktan dibandingkan dengan senyawa lainnya. Penggunaan timbal juga dapat menekan kebutuhan senyawa aromatik, sehingga proses produksi relatif lebih murah dibandingkan memproduksi bansin tanpa timbal.
Bensin ”Premium” yang digunakan di Indonesia saat ini berangka oktan 88 dengan kandungan timbal maksimum 0,45 gram per liter. Sedangkan ”Premix” berangka oktan 94, yang merupakan campuran Premium serta 15 persen Methyl Tertiery Butil Ether (MTBE). Kandungan timbal Premix maupun Premium sama (Santi, 2001).
Lumut Kerak (Lichenes)
Lumut kerak (Lichenes) ini merupakan gabungan miselium jamur yang di dalamnya terjalin sel-sel alga dan keduanya saling bersimbiosis mutualisme. Jamurnya adalah golongan Ascomycota atau Basidiomycota dengan alga hijau/Chlorophyta atau alga biru/Cyanophyta yang uniseluler.
Meskipun keduanya hidup sendiri-sendiri, tetapi dengan hidup pada lumut kerak lebih menguntungkan bagi keduanya, karena mereka mampu hidup pada substrat atau tempat yang organisme lain tidak dapat hidup, misalnya batu. Karena mampu hidup pada batu-batuan, Lichenes ini dikatakan sebagai organisme perintis yang mampu hidup di atas batu. Lichenes tersebut memulai pembentukan tanah dengan melapukkan permukaan batuan dan menambahkan kandungan zat-zat yang dimiliknya. Lichenes dapat juga digunakan sebagai indikator pencemaran udara, karena dia tidak mampu hidup pada udara yang sudah tercemar. Jadi, apabila di suatu daerah tidak ada Lichenes, ini menunjukkan bahwa udara di daerah tersebut sudah tercemar. Selain itu, Lichenes dapat dimanfaatkan pula sebagai obat, digunakan sebagai penambah rasa dan aroma, serta pigmen yang dihasilkan dapat dibuat kertas lakmus celup untuk menentukan indikator pH.
Lichenes memperbanyak diri secara aseksual dan seksual. Secara aseksual dilakukan dengan cara fragmentasi, yaitu dengan potongan lumut kerak, maka induk akan terlepas. Apabila jatuh di tempat yang cocok akan tumbuh menjadi individu baru. Dapat juga dilakukan dengan membuat struktur khusus yang disebut soredia, yaitu sel-sel alga yang terbungkus oleh hifa, terdapat pada permukaan talus Lichenes, warnanya putih seperti tepung. Sel-sel alga ini dapat terlepas, jika jatuh pada tempat yang cocok, maka akan tumbuh menjadi Lichenes baru. Adapun perkembangbiakan jamur dan alga secara seksual dilakukan sendiri-sendiri. Jamur dapat membentuk askokarp atau basidiokarp yang mengandung spora. Jika sporanya masak akan pecah dan terlepas kemudian dibawa angin. Jika jatuh di tempat yang cocok dan bertemu dengan alga, maka akan terbentuk Lichenes (Fuad, 2009).

Dari sejumlah laporan diketahui bahwa talus Lichenes dapat mengakumulasi Pb yang berasal dari hasil emisi gas buang kendaraan bermotor. Hasil penelitian Bargagli et al (1987) dalam Nursal, dkk (2005) menunjukkan bahwa Lichenes merupakan indikator yang baik terhadap pencemaran udara.
Di daerah Tuscany-Italia, konsentrasi Pb pada talus Lichenes terdapat 13,2 μgg-1 berat kering. Konsentrasi Pb terbanyak ditemukan di daerah yang dekat dengan area parkir kendaraan dan di dekat jalan raya. Akumulasi Pb pada Parmelia physodes menurun secara proporsional pada jarak yang semakin jauh dari jalan raya (Deruelle dan Kovacs, 1992 dalam Nursal, dkk, 2005). Hasil penelitian Deruelle (1981) dalam Nursal, dkk (2005) juga menunjukkan bahwa pada jarak 15 m dari jalan raya akumulasi Pb ditemukan sebanyak 1002 μgg-1 berat kering, sedangkan pada jarak 600 m dari jalan raya akumulasi Pb hanya 65 μgg-1 berat kering.
Lichenes juga dapat digunakan sebagai indikator terhadap berbagai polutan diantaranya SO2, NO2, HF, Chlorida, O3, peroksi asetat, logam berat, isotop radioaltif, pupuk, pestisida, dan herbisida (Kovacs, 1992 dalam Nursal, dkk, 2005). Jenis-jenis Lichenes mempunyai tingkat sensitifitas yang berbeda terhadap bahan pencemar. Ada yang bersifat sensitif dan ada pula yang bersifat toleran. Kisaran toleransi Lichenes terhadap SO2 ternyata cukup tinggi. Lecanora conizoides masih dapat hidup pada konsentrasi SO2 150μgm-3. Pada konsentrasi SO2 lebih dari 170 μgm-3 tidak ada lagi jenis Lichenes yang bisa hidup. Lecanora conizaeoides ditemukan pada kulit batang pohon yang dikoloni oleh alga apabila konsentrasi SO2 125 μgm-3. Usnea ceratina dapat ditemui pada pohon yang sama apabila konsentrasi SO2 35 μgm-3 dan Usnea florida dapat ditemukan apabila konsentrasi SO2 30 μgm-3 (Galun et al, 2000 dalam Nursal, dkk, 2005).





Gambar 1. Jenis-jenis Lumut Kerak (Lichenes),
Sumber : http://arael.shtooka.net/img/uds/lichen.jpg

Gambar 1. Jenis-jenis lumut kerak (Lichenes),
(Sumber : http://arael.shtooka.net/img/uds/lichen.jpg)

Pengendalian Pencemaran Udara
Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber bergerak maupun tidak bergerak. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemeritah pusat antara lain:
1. Penetapan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pencemaran udara seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
2. Penentuan pengelola pengawasan dan penanggungjawab pengendalian pencemaran udara serta dampaknya, yaitu:
a. Kementerian Negara Lingkungan Hidup bertanggungjawab terhadap regulasi emisi dan pemantauan dampak lingkungan yang terjadi;
b. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral bertanggungjawab terhadap pengawasan dan pengendali mutu bahan bakar;
c. Departemen Perindustrian bertanggungjawab mengawasi produk komponen kendaraan yang ramah lingkungan dan mengawasi dan sertifikasi bengkel dalam rangka meningkatkan kualitas udara di perkotaan;
d. Departemen Perhubungan bertanggungjawab pengujian tipe untuk kendaraan bermotor produksi baru termasuk uji emisi gas buang dan pengadaan dan pemasangan converter kit;
e. Pemerintah Daerah bertanggungjawab terhadap pengujian kendaraan bermotor yang sedang berjalan.
3. Melaksanakan kegiatan pengendalian pencemaran udara antara lain dengan pencanangan Program Langit Biru (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, 2007).

Sedangkan menurut Umar Fahmi Achmad (Santi, 2001) menyatakan pengendalian Pb yang merupakan sebagian dari gas buang kendaraan bermotor cukup sulit karena cukup banyak variabel yang mempengaruhinya di antaranya cara mengemudi, ketaatan perawatan, kemacetan, banyaknya kendaraan pribadi, kendaraan dapat berpindah-pindah, dan terkonsentrasi pada suatu wilayah. Untuk itu perlu dilakukan beberapa pendekatan antara lain :
 Pendekatan Teknis
 Pendekatan Planatologi, administrasi dan hukum
 Pendekatan Edukatif

Pendekatan Teknis
Partikel Pb dapat mencemari tanaman pangan, dan bila hasil tanaman tersebut dikonsumsi manusia maka dapat menyebabkan keracunan. Untuk menghilangkan polutan Pb maka dapat dilakukan secara teknis yaitu dengan mengendalikan bahan bakar yang akan digunakan oleh kendaraan bermotor.
Hal ini dapat dilakukan dengan menggantikan TEL dengan anti knocing yang lain yang tidak mengandung Pb. Dr Jurg grutter, peneliti pada Swisscontact, Swiss, menyatakan hal itu. Menurut pengamatannya, Pemerintah Honduras telah berhasil menghilangkan partikulat timah hitam dari kawasan udara hingga mendekati nol dalam waktu enam bulan. Itu terjadi sejak bensin tak bertimah hitam (Pb) dipakai pada seluruh kendaraan bermotor di negara itu. Dari situ Grutter mengambil kesimpulan bahwa pengalihan penggunaan bensin bertimah hitam ke bensin tidak bertimah hitam perlu terus didorong. Hal itu perlu dikembangkan di berbagai negara dengan suatu argumentasi, polusi udara oleh timah hitam jelas sangat mengganggu kesehatan dan merusak lingkungan.
Kerugian ini didukung pula oleh kalangan produsen mobil, karena mobil-mobil generasi baru yang kini dirancang tak terpengaruh oleh pemakaian bahan bakar tanpa ditif timbal. Bahkan, orang bisa memasang alat katalik kon verter yang berguna mengurangi emisi gas lain. Mencari bahan alternatif juga merupakan solusi yang banyak ditawarkan. Bahan bakar tersebut dapat berupa bahan bakar gas (BBG). Di jakarta maupun di Surabaya cukup banyak kendaraan (taksi) yang menggunakan bahan bakar gas, karena selain polutannya yang rendah juga lebih ekonomis. Mobil listrik merupakan solusi program langit biru yang paling tepat karena tidak menggunakan motor bakar sebagi tenaga penggerak melainkan motor listrik sehingga emisinya nol. Pada saat ini mobil listrik bukan Propotipe lagi melainkan sudah diproduksi secara massal dan dijual pada pasar mobil. Batterey yang digunakan sebagai sumber energi listrik sesuai dengan standard EPA (Enviromental Protection Agency), kemampuan batterey mobil General EVI akan turun 85 % setelah melaju.

Pendekatan Planatologi, administrasi dan hukum
Pemerintah mempunyai posisi yang paling strategis dalam upaya mengendalikan pencemaran Pb ini. Dengan wewenang yang dimiliki, pemerintah dapat menyusun tata kota dan rambu lalu lintas yang memungkinkan kendaraan dapat berjalan lancar, mengontrol polutan Pb secara berkala saat pajak kendaraan dan mengenakan sangsi bagi yang melanggar. Menurut hasil uji emisi kendaraan bermotor akhir juni 1996 di jakarta selama enam hari, diperoleh kesimpulan sementara, sebanyak 61 % kendaraan bermotor dinyatakan telah melampaui baku mutu emisi.
Hukum sebagai salah satu sarana dalam upaya untuk mencegah dan menaggulangi akibat yang ditimbulkan emisi gas kendaraan bermotor, karena melalui peraturan perundang-undangan telah ditetapkan syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh setiap warga masyarakat.
Beberapa peraturan yang berhubungan dengan masalah tersebut adalah :
1. UU No. 14 Tahun 1992 tentang angkutan jalan pada pasal 50
 Untuk mencegah pencemaran udara yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan hidup, setiap kendaraan bermotor wajib memenuhi persyaratan angkatan batas emisi gas buang.
 Setiap pemilik, pengusaha angkutan umum dan atau pengemudi kendaraan bermotor, wajib mencegah terjadinya pencemaran udara.
2. Kep. Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP 35/ MENLH/ 10/1993 tentang ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
 Dalam pasal 1 dinyatakan bahwa ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat dalam bahan pencemaran yang telah dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor.
 Pasal 4 menetapkan bahwa batas emisi gas buang kendaraan bermotor ditinjau kembali sekurang-kurangnya dalam 5 tahun sekali.
Persyaratan yang ditetapkan pemerintah melalui ketentuan di atas dimaksud sebagai upaya untuk pencegahan pencemaran udara yang bersifat preventif. Namun jika persyaratan itu tidak dipatuhi atau dilanggar akan menimbulkan sangsi pidana, seperti ditetapkan dalam pasal 67 UU No.14 tahun 1992 yang berbunyi sebagai berikut : ”Barang siapa yang mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak memenuhi syarat ambang batas emisi gas buang, dipidana dengan pidana paling lama 2 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000.”
Selanjutnya pasal 64 menetapkan, jika seseorang melakukan lagi pelanggaran pertama, maka pidana yang dijatuhkan terhadap pelanggaran yang kedua ditambah dengan sepertiga dari pidana kurungan pokoknya atau bila dikenakan denda dapat ditambah dengan setengah dari denda yang diancam untuk pelanggaran pertama.

Pendekatan Edukatif
Upaya mengurangi Pb dalam udara bukan hanya tugas pemerintah saja, melainkan tanggung jawab seluruh masyarakat. Untuk itu dapat dilakukan dengan cara :
 Memberikan informasi secara intensif tentang dampak Pb pada kesehatan dan lingkungan serta cara bagaimana mengatasinya. Dengan mengetahui dampak tersebut diharapkan timbul kesadaran masyarakat untuk melakukan upaya mengatasinya.
 Melakukan pendidikan pelatihan pada orang-orang yang potensial menjadi penyebab meningkatnya pencemaran Pb seperti pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, mekanik/teknisi yang melakukan perawatan kendaraan.
Cara mengemudi kendaraan mempengaruhi efisiensi kerja mesin dan pemakaian bahan bakar. Cara mengemudi yang menyebabkan pemakaian bahan bakar menjadi boros sehingga polusi tinggi antara lain : pengemudi memainkan pedal gas saat kendaraan berhenti di lampu pengatur lalu lintas, kaki selalu menempel pada pedal kopling sehingga kopling menjadi sedikit slip, pemilihan tingkat transmisi yang tidak tepat.
Untuk megurangi penyebab pencemaran Pb dari cara mengemudi yang salah yaitu dengan cara :
 Produsen harus memberi petunjuk bagaimana cara mengemudi kendaraan dengan baik dan benar pada setiap kendaraan yang diproduksinya, sehingga pengemudi dapat mempelajarinya sebelum mengemudinya.
 Melalui media secara intensif, pemerintah (Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya) memberi himbauan kepada pengemudi pentingnya cara mengemudi yang benar.
 Menyelenggarakan pendidikan singkat tentang pengetahuan dan ketrampilan dasar merawat dan mengemudikan kendaraan dengan baik dan benar pada pengemudi.
Kedisiplinan pemilik kendaraan merawat secara berkala masih rendah, terutama pada kendaraan umum. Untuk meningkatkan kesadaran dan kedisiplinan pemilik kendaraan melakukan perawatan dapat dilakukan dengan cara memberikan informasi yang tepat tentang keuntungan bila pemilik melakukan perawatan kendaraan dengan benar, serta kerugian bila tidak melakukan perawatan dengan benar.
Kemampuan mekanik dalam melakukan perawatan dan perbaikan kendaraan mempengaruhi hasil kerjanya. Hasil penyetelan yang kurang baik menyebabkan kerja mesin kurang sempurna sehingga bahan bakar boros dan polusi gas buangnya tinggi. Untuk meningkatkan kemampuan mekanik dapat dilakukan melalui pendidikan lanjut, pelatihan, studi banding, diskusi kasus yang muncul dalam kelompok kerja dan lain sebagainya (Santi, 2001).

METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada tiga lokasi yang dipilih secara purposive berdasarkan tingkat kepadatan lalu lintas, yaitu di Jalan Sudirman di depan Balai Dang Merdu (lokasi I) dengan tingkat kepadatan lalu lintas kategori tinggi, Jalan Sudirman di depan lokasi Purna MTQ (lokasi II) dengan tingkat kepadatan lalu lintas kategori sedang dan Jalan Soebrantas (lokasi III) dengan tingkat kepadatan lalu lintas kategori rendah.
Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Mei 2003 dari masing-masing lokasi. Sampel Lumut kerak diambil/dikerik dari permukaan kulit batang pohon pada sisi yang berhadapan dengan jalan raya pada ketinggian 130 cm dari permukaan tanah. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan di dalam kotak es (ice box) sebelum dianalisis lebih lanjut. Proses destruksi sampel dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Jurusan Kimia FMIPA Universitas Riau, sedangkan analisis Pb dilakukan di Laboratorium PT. Sucopindo Pekanbaru. Pengukuran suhu udara, kelembapan udara dan intensitas cahaya dilakukan secara in situ pada masing-masing lokasi. Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui dan membandingkan akumulasi Pb antar lokasi pada tingkat kepadatan lalu lintas yang berbeda (Nursal, dkk, 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil pengukuran akumulasi Pb pada talus Lichenes dan parameter lingkungan pada masing-masing lokasi penelitian disarikan pada Tabel 1. Dari Tabel 1 terlihat bahwa tingkat kepadatan lalu lintas dan faktor lingkungan yang terukur pada tiga lokasi pencuplikan bervariasi satu sama lain. Tingginya tingkat kepadatan lalu lintas di Jalan Sudirman (lokasi I dan II) disebabkan karena letaknya yang berada di pusat kota dan sekaligus merupakan jalan utama yang menghubungkan pusat kota dengan daerah luar kota termasuk ke Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru sehingga jalur ini selalu ramai dilalui oleh kendaraan bermotor, baik kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Sedangkan rendahnya tingkat kepadatan lalu lintas di Jalan Soebrantas (lokasi III) diduga disebabkan karena lokasi ini berada di pinggir kota dan lebih banyak dilalui oleh kendaraan umum terutama kendaraan angkutan barang.
Tabel 1. Data Hasil Pengukuran Akumulasi Pb Pada Talus Lichenes dan Parameter Lingkungan Pada Masing-masing Lokasi Penelitian
No. Parameter Lokasi Rata-rata
I II III
1
2
3
4
5
6
7 Akumulasi Pb (ppm)
Kepadatan lalu lintas (kendaraan/jam)
Jarak pengambilan sampel (m)
Kelembapan udara (%)
Suhu udara (oC)
Intensitas cahaya (Lux)
Jenis pohon 7.75
7590
2.03
73
28.8
3210
Menteng 4.36
5857
3.56
71
28.3
3100
Mahoni 23.14
823
1.84
76
27.6
3110
Jabon


73.3
28.2
3136.6
Keterangan:
Lokasi I : Jalan Sudirman (di depan Balai Dang Merdu)
Lokasi II : Jalan Sudirman (di depan Purna MTQ)
Lokasi III : Jalan Soebrantas (Jl. Raya Pekanbaru-Bangkinang)
(Sumber : Nursal, dkk, 2005)

Apabila dihubungkan dengan akumulasi Pb yang terukur pada talus Lichenes yang diperoleh dari masing-masing lokasi ternyata akumulasi Pb pada talus Lichenes berkorelasi dengan tingkat kepadatan lalu lintas dan dengan faktor lingkungan lainnya yang terukur. Kelembaban Relatif udara mempunyai korelasi yang paling kuat terhadap akumulasi Pb pada talus Lichenes. Selain itu ada pula hubungan korelasi antara kepadatan lalu lintas, suhu udara, jarak pengambilan sampel serta intensitas cahaya terhadap akumulasi Pb pada talus Lichenes.
Faktor kelembaban relatif udara ternyata mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap akumulasi Pb pada talus Lichenes dibandingkan dengan faktor lainnya yang terukur. Hal ini diduga berkaitan dengan sifat hidup dan pertumbuhan talus Lichenes yang lebih cocok pada kondisi udara yang lebih lembab. Pertumbuhan vegetatif yang baik dan subur menyebabkan aktifitas metabolisme menjadi lancar sehingga penyerapan air dan mineral serta akumulasi bahan-bahan pencemar menjadi lebih banyak.
Tingginya kepadatan lalu lintas merupakan salah satu sumber pencemaran Pb di udara. Korelasi antara kepadatan lalu lintas dengan akumulasi Pb pada talus Lichenes cukup kuat. Akumulasi Pb yang paling tinggi ditemukan pada lokasi III (Jalan Soebrantas) yaitu 23,14 ppm, meskipun kepadatan lalu lintas lebih rendah dari lokasi lainnya. Hal ini diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan (udara) yang lebih lembab serta jarak pengambilan sampel yang lebih dekat ke jalan raya dibandingkan dengan kedua lokasi lainnya (lihat Tabel 1). Pada kondisi lingkungan yang lebih lembab Lichenes dapat hidup lebih baik dan subur sehingga penyerapan air, mineral dan akumulasi bahan-bahan pencemar menjadi lebih efektif dan lebih banyak dibandingkan dengan lokasi lainnya.
Keunikan struktur morfologi dan fisiologi talus Lichenes memungkinkan untuk digunakan sebagai indikator biologis. Lichenes mempunyai akumulasi khlorofil yang rendah, tidak mempunyai kutikula, mengabsorbsi air dan nutrien secara langsung dari udara dan dapat mengakumulasi berbagai material tanpa seleksi serta bahan yang terakumulasi tidak akan terekskresikan lagi (Kovacs, 1992 dalam Nursal, dkk, 2005).
Beberapa jenis Lichenes bersifat sensitif terhadap polutan di udara sehingga jarang ditemukan pada daerah tercemar. Jenis-jenis yang lebih toleran dapat mengakumulasi polutan dalam jumlah tertentu sampai batas konsentrasi yang masih dapat ditolerir. Jenis-jenis yang bersifat toleran dapat digunakan sebagai indikator akumulasi untuk mendeteksi kadar bahan pencemar terutama yang terdapat di udara. Hasil identifikasi jenis Lichenes yang dilakukan oleh Pusat Penelitin Biologi LIPI Bogor (September 2003) adalah genus Dirinaria sp. (Suku Physciaceae) (Nursal, dkk, 2005).

KESIMPULAN
Berdasarkan studi kasus dengan judul Akumulasi Timbal (Pb) Pada Talus Lichenes di Kota Pekanbaru, didapat beberapa kesimpulan bahwa :
1. Penggunaan talus Lichenes sebagai bioindikator pencemaran udara yang di akibatkan oleh Pb terbukti sangat efektif. Hal ini terlihat jelas dari hasil penelitian bahwa kepadatan lalu lintas yang sangat tinggi sangat berperan dalam akumulasi timbal pada Lichenes yang merupakan indikator pencemaran udara yang diakibatkan oleh bensin bertimbal.
2. Pengelolaan pencemaran udara yang diakibatkan oleh bensin bertimbal ini tentunya meliputi beberapa pengendalian yang mana bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran udara, serta pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan di sumber pencemar yaitu kendaraan bermotor yang masih menggunakan bensin bertimbal
3. Selain dengan melakukan pengendalian pencemaran udara, pengelolaan pencemaran udara akibat bensin bertimbal juga dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, meliputi pendekatan secara teknis; planatologi, administrasi dan hukum serta edukatif.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. 2007. Hasil Pemeriksaan Atas Program Langit Biru Pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Instansi Terkait di Jakarta.
Fuad, Abdullah Aufa. 2009. Bab 4: Jamur.
(Sumber: http://auvicena.blogspot.com/2009/07/bab-4-jamur.html,
diakses tanggal 8 Maret 2010)
Gunawan, Gugun. 2007. Polusi udara di Ruas Jalan Perkotaan. (Sumber: http://www.pusjatan.pu.go.id/upload/jurnal/2007/JN2401APR0701.pdf,
diakses tanggal 8 Maret 2010)
Kristanto, Philip. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi
Nursal, Firdaus dan Basori. 2005. Akumulasi Timbal (Pb) Pada Talus Lichenes di Kota Pekanbaru.
Santi, Devi Nuraini. 2001. Pencemaran Udara Oleh Timbal (Pb) Serta Penanggulangannya. (Sumber : http://library.usu.ac.id/download/fk/fk-Devi3.pdf, diakses tanggal 1 Maret 2010)

ANALISIS PERAN MIKROORGANISME, STUDI KASUS BAKTERI KARANG PENDEGRADASI SENYAWA HERBISIDA MCPA DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA

ANALISIS PERAN MIKROORGANISME :
STUDI KASUS BAKTERI KARANG PENDEGRADASI SENYAWA HERBISIDA MCPA DI PERAIRAN PANTAI UTARA JAWA






DOSEN PEMBIMBING :
NOPI STIYATI P., S.Si, M.T


OLEH :
M. SADIQUL IMAN H1E108059



PROGAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU

2010

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan petunjuk yang dicurahkan-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan ini.
Penulisan Analisis Peran Mikroorganisme: Studi Kasus Bakteri Karang Pendegradasi Senyawa Herbisida MCPA ini merupakan tugas yang diberikan oleh ibu Nopi Stiyati P., S.Si, M.T, yang mana tujuan yang saya ambil dari kegiatan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang peran mikroorganisme dalam kehidupan sehari-hari serta mengembangkan daya kreativitas remaja khususnya mahasiswa dalam mengembangkan daya cipta untuk melakukan suatu perubahan dalam upaya sumbangan pikiran untuk pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat.
Penulisan laporan ini dapat diselesaikan karena berkat bimbingan secara terpadu oleh ibu Nopi Stiyati P., S.Si, M.T,dan dukungan dari semua pihak. Untuk itu dalam kesempatan kali ini saya mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Dan akhirnya diharapkan agar penulisan laporan ini dapat berguna bagi kita semua serta kemajuan ilmu pengetahuan. Penulisan ini tentunya tidak lepas dari kritik dan saran yang besifat membangun.


Banjarbaru, Februari 2010


Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Tujuan dan Manfaat......................................................................... 1
1.3 Metode Penulisan............................................................................. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 2
2.1 Pencemaran Laut.............................................................................. 3
2.2 Dampak Pencemaran Laut................................................................ 6
2.3 Pengertian Mikrobiologi................................................................... 9
2.4 Peran Mikroorganisme...................................................................... 9
BAB III PEMBAHASAN............................................................................ 13
3.1 Studi Kasus....................................................................................... 13
3.2 Isolasi Bakteri Karang...................................................................... 13
3.3 Proses Uji Degradasi oleh Bakteri Karang....................................... 14
3.4 Faktor yang Mempengaruhi............................................................. 15
BAB IV PENUTUP....................................................................................... 16
4.1 Kesimpulan....................................................................................... 16
4.2 Saran................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 17
LAMPIRAN................................................................................................. 18





BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Akhir-akhir ini pencemaran laut telah menjadi suatu masalah yang perlu ditangani secara sungguh-sungguh. Hal ini berkaitan dengan semakin meningkatnya kegiatan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Di samping menghasilkan produk-produk yang diperlukan bagi kehidupannya, kegiatan manusia menghasilkan pula produk sisa (limbah) yang dapat menjadi bahan pencemar (polutan). Cepat atau lambat polutan itu sebagian akan sampai di laut. Hal ini perlu dicegah atau setidak-tidaknya dibatasi hingga sekecil mungkin.
Di Indonesia, teknologi untuk mengolah berbagai polutan dengan menggunakan bahan-bahan kimia masih sangat mahal. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem bioteknologi yang cukup selektif dan ekonomis untuk menghilangkan polutan ini. Bioteknologi merupakan salah satu cara pengolahan yang sekarang sedang marak digunakan. Dimana dalam hal ini menggunakan peran mikroorganisme dalam mendegradasi atau menguraikan bahan pencemar (polutan) dalam perairan.

1.2 Tujuan dan Manfaat
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah :
1. Mengetahui peran mikroorganisme, khususnya bakteri karang dalam mendegradasi senyawa MCPA, yang merupakan bahan polutan di perairan Pantai Utara Jawa,
2. Bagaimana proses penguraian senyawa MCPA oleh bakteri karang terjadi, serta
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi proses degradasi senyawa MCPA tersebut.
Sedangkan manfaat dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang peran mikroorganime dalam penggunaannya di bidang bioteknologi.

1.3 Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan adalah studi literatur dari buku-buku maupun jurnal-jurnal yang berkaitan dengan peran mikroorganisme dalam mendegradasi polutan pada perairan yang informasinya didapat dari internet.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Laut
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19/1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (Pramudianto, 1999 dalam Misran, 2002). Sedangkan Konvensi Hukum Laut III (United Nations Convention on the Law of the Sea = UNCLOS III) memberikan pengertian bahwa pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat yang buruk sehingga dapat merugikan terhadap sumber daya laut hayati (marine living resources), bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, memerosotkan kualitas air laut dan menurunkan mutu kegunaan dan manfaatnya (Siahaan, 1989 dalam Misran, 2002).

2.1.1 Jenis-Jenis Polutan
Bahan-bahan pencemar yang dibuang ke laut dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara. Mannion dan Bowlby (1992) dalam Misran (2002) menggolongkannya dari segi konservatif/non-konservatif :
a) Golongan non-konservatif terbagi dalam tiga bentuk yaitu :
• buangan yang dapat terurai (seperti sampah dan lumpur), buangan dari industri pengolahan makanan, proses distilasi (penyulingan), industri-industri kimia, dan tumpahan minyak;
• pupuk, umumnya dari industri pertanian;
• buangan dissipasi (berlebih), pada dasarnya adalah energi dalam bentuk panas dari buangan air pendingin, termasuk juga asam dan alkali.
b) Golongan konservatif terbagi dalam dua bentuk yaitu :
• partikulat, seperti buangan dari penambangan (misalnya : tumpahan dari tambang batubara, debu-debu halus), plastik-plastik inert;
• buangan yang terus-menerus (persistent waste) yang terbagi lagi dalam tiga bentuk :
(I) logam-logam berat (merkuri, timbal, zinkum);
(ii) hidrokarbon terhalogenasi (DDT dan pestisida lain dari hidrokarbon terklorinasi, dan PCBs atau polychlorinated biphenyl); dan
(iii) bahan-bahan radioaktif.

Seringkali polutan yang masuk ke laut berbentuk kompleks, dalam arti dapat mengandung kedua golongan di atas yaitu konservatif dan non-konservatif. Sebagai contoh adalah buangan yang berasal dari penduduk (limbah domestik) yang umumnya mengandung buangan organik tetapi juga mengandung bahan berlogam, minyak dan pelumas, deterjen, organoklorin, dan buangan industri lainnya.
Sementara itu GESAMP (The Grooup of Experts on Scientific Aspects of Marine Pollution) memberikan 8 klasifikasi polutan yakni hidrokarbon terhalogenasi termasuk PCBs dan pestisida, misalnya DDT; minyak bumi dan bahan-bahan yang dibuat dari minyak bumi; zat kimia organik seperti biotoksin laut (marine biotoxin), deterjen; pupuk buatan (kimia) maupun alami termasuk yang terdapat di dalam kotoran yang berasal dari pertanian; zat kimia anorganik, terutama logam berat seperti merkuri dan timah hitam; benda-benda padat (sampah) baik organik maupun anorganik; zat-zat radioaktif; dan buangan air panas (thermal water) (Misran, 2002).

2.1.2 Sumber-Sumber Polutan
Menurut Alamsyah (1999) dalam Misran (2002), pencemaran lingkungan pesisir dan laut dapat diakibatkan oleh limbah buangan kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) maupun kegiatan atau aktivitas di lautan (sea-based pollution). Kontaminasi lingkungan laut akibat pencemaran dapat dibagi atas kontaminasi secara fisik dan kimiawi. Secara umum, kegiatan atau aktivitas di daratan (land-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain : penebangan hutan (deforestation), buangan limbah industri (disposal of industrial wastes), buangan limbah pertanian (disposal of agricultural wastes), buangan limbah cair domestik (sewage disposal), buangan limbah padat (solid wastes disposal), konversi lahan mangrove dan lamun (mangrove and swamp conversion), dan reklamasi di kawasan pesisir (reclamation).
Sedangkan kegiatan atau aktivitas di laut (sea-based pollution) yang berpotensi mencemari lingkungan pesisir dan laut antara lain : perkapalan (shipping), dumping di laut (ocean dumping), pertambangan (mining), eksplorasi dan eksploitasi minyak (oil exploration and exploitation), budidaya laut (mariculture), dan perikanan (fishing). Lebih jauh lagi, cara masuknya sumber-sumber polutan ke laut diterangkan oleh Mannion dan Bowlby (1992). Ada limbah yang dibuang ke laut secara langsung yaitu berupa hasil kegiatan di pantai maupun lepas pantai, atau secara tidak langsung sebagai bahan yang terbawa melalui aliran sungai; ada pula limbah yang dengan sengaja dibawa ke laut lepas untuk ditimbun (dumping). Sumber polutan yang terpenting berasal dari kegiatan di darat (sekitar 95%), yaitu berupa buangan industri yang dilepas secara reguler juga berupa limbah cair domestik.
Sementara itu, sumber pencemaran akibat kegiatan di laut terutama berasal dari buangan kapal-kapal baik karena kegiatan operasional rutin (sengaja) maupun karena kecelakaan (tidak sengaja). Pencemaran akibat kecelakaan mengakibatkan masuknya polutan dalam jumlah besar, seperti akibat kebocoran kapal supertanker minyak yang menyebabkan laut tercemar. Yang lebih penting lagi adalah akibat kegiatan rutin yang secara reguler membuang polutan ke lingkungan laut karena hal ini nerupakan cara termurah untuk membuang limbah. Contohnya adalah pembuangan limbah yang telah diolah sebagian atau belum diolah sama sekali, limbah cair dan air pendingin dari industri, sludge, tumpahan dari penambangan dan akibat pengerukan, mesiu yang tidak terpakai lagi, dan buangan radioaktif. Khusus untuk radioaktif, buangannya bukan saja berasal dari pusat pembangkit tenaga nuklir, pabrik pengolahan bahan bakar nuklir, dan kegiatan pengolahan uranium; tetapi juga berasal dari kegiatan umum lainnya seperti pembakaran batubara. Bila batubara dibakar maka akan memancarkan partikel-partikel radioaktif ke atmosfer yang akan kembali lagi ke laut. Budidaya laut (mariculture), yang membutuhkan air segar, dapat tercemar dengan sendirinya akibat kelebihan pakan yang akhirnya mendorong terjadinya proses eutrofikasi; dan pestisida yang digunakan agar ikan terhindar dari parasit dapat menyebabkan matinya invertebrata lainnya.
Kegiatan rekreasi dan kepariwisataan telah menjadi aspek penting dalam peningkatan ekonomi, khususnya bagi penduduk pesisir. Akan tetapi kegiatan ini telah membawa dampak lingkungan yang tidak selalu positif. Buangan limbah dari hotel dan restoran di sepanjang pantai, serta meningkatnya permintaan air bersih dapat memberi ancaman berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir. Di sisi lain, tidak ada atau kurangnya titik/tempat tambatan kapal (ponton) yang dipersiapkan pada kawasan taman wisata alam laut, menyebabkan jangkar kapal sangat berpeluang merusak terumbu karang (Misran, 2002).

2.2 Dampak Pencemaran Laut
Dampak yang timbul akibat pencemaran oleh berbagai jenis polutan yang telah disebutkan sebelumnya adalah sangat beragam. Ada beberapa polutan yang dapat langsung meracuni kehidupan biologis. Ada pula polutan yang menyerap banyak jumlah oksigen selama proses dekomposisi. Ada polutan yang mendorong tumbuhnya jenis-jenis binatang tertentu. Dan ada pula polutan yang berakumulasi di dalam jaringan makanan laut yang tidak dapat dihancurkan oleh sel-sel hidup (bioaccumulation).
Masalah pencemaran yang paling besar di banyak tempat di Indonesia adalah limbah cair domestik dan industri. Hal ini umumnya disebabkan tidak atau kurang memadainya fasilitas untuk menangani dan mengelola limbah tersebut. GESAMP telah bersepakat mempelajari beberapa polutan yang khusus yaitu PCBs; pestisida organoklorin; logam berat seperti merkuri, timbal, arsen, kadmium; deterjen; dan biotoksin laut. Zat-zat ini diberi prioritas yang tinggi karena toksisitas, persistensi, dan sifatnya yang berakumulasi dalam organisme-organisme yang hidup di laut dan pengaruhnya pada jaringan makanan laut menunjukkan kadar yang tinggi. Mereka masuk melalui plankton dan kemudian dimakan oleh berbagai binatang laut seperti binatang-binatang karang yang dapat mengumpulkan konsentrasi dari pestisida yang sangat tinggi (Misran, 2002).


2.2.1 Limbah Industri Pertanian
Masalah pencemaran yang dikaitkan dengan pertanian adalah sedimentasi pestisida dan pupuk. Aliran air hujan dari daerah pertanian juga mengandung bahan makanan yang besar seperti senyawa nitrogen yang jika sampai ke laut dapat menyebabkan masalah eutrofikasi. Pestisida digunakan dengan maksud untuk pembasmian hama dalam pertanian. Hanya saja, sifat toksisitas pestisida telah diketahui dapat menimbulkan kanker. Selain itu, bahaya utama yang telah diketahui dari sisa pestisida adalah kemampuan untuk merusak biota laut dikarenakan daya akumulasinya pada biota laut. Dalam konsentrasi yang rendah (karena sudah terencerkan), pestisida biasanya memang tidak sampai mematikan ikan, tetapi menghambat pertumbuhan. Tetapi untuk beberapa organisma laut, terutama jenis crustacea seperti udang dan kepiting, senyawa-senyawa organoklorin dan organofosfat telah bersifat letal sekalipun dalam dosis rendah (Misran, 2002).

2.2.2 Limbah Industri Minyak dan Gas (Migas)
Minyak bumi terbentuk sebagai hasil akhir dari penguraian bahan-bahan organik (sel-sel dan jaringan hewan/tumbuhan laut) yang tertimbun selama berjuta tahun di dalam tanah, baik di daerah daratan atau pun di daerah lepas pantai. Hal ini menunjukkan bahwa minyak bumi merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Terbentuknya minyak bumi sangat lambat, oleh karena itu perlu penghematan dalam penggunaannya.
Minyak bumi kasar (baru keluar dari sumur eksplorasi) mengandung ribuan macam zat kimia yang berbeda baik dalam bentuk gas, cair maupun padatan. Bahan utama yang terkandung di dalam minyak bumi adalah hidrokarbon alifatik dan aromatik. Minyak bumi mengandung senyawa nitrogen antara 0-0,5%, belerang 0-6%, dan oksigen 0-3,5%. Terdapat sedikitnya empat seri hidrokarbon yang terkandung di dalam minyak bumi, yaitu seri n-paraffin (n-alkana) yang terdiri atas metana (CH4) sampai aspal yang memiliki atom karbon (C) lebih dari 25 pada rantainya, seri iso-paraffin (isoalkana) yang terdapat hanya sedikit dalam minyak bumi, seri neptena (sikloalkana) yang merupakan komponen kedua terbanyak setelah n-alkana, dan seri aromatik (benzenoid). Komposisi senyawa hidrokarbon pada minyak bumi tidak sama, bergantung pada sumber penghasil minyak bumi tersebut. Minyak bumi berdasarkan titik didihnya dapat dibagi menjadi sembilan fraksi. Pemisahan ini dilakukan melalui proses destilasi ( Hadi, 2003 dalam Puspitaningrom, 2008).

Limbah padat yang dihasilkan industri minyak disebut dengan oil sludge. Dimana minyak hasil penyulingan (refitnes) dari minyak mentah biasanya disimpan dalam tangki penyimpanan. Oksidasi proses yangterjadi akibat kontak antara minyak , udara dan air menimbulkan adanya sedimnetasi pada dasar tangki penyimpanan, endapan ini adalah oil sludge. Oil sludge terdiri dari, minyak (hidrocarbon), air , abu, karat tangki, pasir, dan bahan kimia lainnya. Kandungan hidrocarbon pada oil sludge merupakan limbah B3 karena banyak mengandung logam-logam berat yang dapat membahayakan. Sehingga dalam pengelolaannya harus mengacu pada peraturan pemerintah no. 18 tahun 1999, dimana limbah B3 harus diproses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah B3 menjadi tidak beracun dan berbahaya.
Sebenarnya banyak teknik pengolahan limbah oil sludge yang dapat diaplikasikan seperti, incenerasi (pembakaran), centrifugasi (pemisahan), steam extraction (ekstraksi), dan bioremediation (mikrobiologi). Namun, kenyataannya dilapangan menunjukkan bahwa teknologi tersebut masih jauh dari yang diharapkan, ditambah lagi dengan biaya operasional yang masih sangat mahal. Dewasa ini, teknologi plasma juga diterapkan dalam mengolah limbah oil sludge. Plasma tidak hanya dapat mengolah oil sludge, tapi sekaligus dapat mendaur ulang limbah yang umumnya mengandung sekitar 40% minyak. Dengan mengolah oil sludge akan menghasilkan light oil seperti minyak diesel yang siap pakai, dan residu dari proses pengolahan siap dan aman untuk dibuang (landfill) ataupun dimanfaatkan menjadi bahan yang bernilai ekonomis seperti, sebagai bahan pembuat keramik, batako atau paving blok, genteng (Sugiarto,2004 dalam Puspitaningrom, 2008).



2.3 Pengertian Mikrobiologi
Mikrobiologi merupakan suatu istilah luas yang berarti studi tentang organisme hidup yang terlalu kecil untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Mikrobiologi mencakup studi tentang bakteri (bakteriologi), virus (virologi), khamir dan jamur (mikologi), protozoa (protozoologi), beberapa ganggang, dan beberapa bentuk kehidupan yang tidak sesuai untuk dimasukkan ke dalam kelompok tersebut di atas. Bentuk kehidupan yang kecil seperti itu disebut mikroorganisme. Kadang-kadang disebut mikroba atau dalam bahasa sehari-hari, kuman (Volk dan Wheeler, 1993).

2.4 Peran Mikroorganisme
Mikroorganisme merupakan jasad hidup yang mempunyai ukuran sangat kecil (Kusnadi, dkk, 2003 dalam Ali, 2008). Setiap sel tunggal mikroorganisme memiliki kemampuan untuk melangsungkan aktivitas kehidupan antara lain dapat dapat mengalami pertumbuhan, menghasilkan energi dan bereproduksi dengan sendirinya. Mikroorganisme memiliki fleksibilitas metabolisme yang tinggi karena mikroorganisme ini harus mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang besar sehingga apabila ada interaksi yang tinggi dengan lingkungan menyebabkan terjadinya konversi zat yang tinggi pula. Akan tetapi karena ukurannya yang kecil, maka tidak ada tempat untuk menyimpan enzim-enzim yang telah dihasilkan. Dengan demikian enzim yang tidak diperlukan tidak akan disimpan dalam bentuk persediaan enzim-enzim tertentu yang diperlukan untuk perngolahan bahan makanan akan diproduksi bila bahan makanan tersebut sudah ada.
Mikroorganisme ini juga tidak memerlukan tempat yang besar, mudah ditumbuhkan dalam media buatan, dan tingkat pembiakannya relatif cepat (Darkuni, 2001 dalam Ali, 2008). Oleh karena aktivitasnya tersebut, maka setiap mikroorganisme memiliki peranan dalam kehidupan, baik yang merugikan maupun yang menguntungkan. Sekilas, makna praktis dari mikroorganisme disadari terutama karena kerugian yang ditimbulkannya pada manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Misalnya dalam bidang mikrobiologi kedokteran dan fitopatologi banyak ditemukan mikroorganisme yang pathogen yang menyebabkan penyakit dengan sifat-sifat kehidupannya yang khas. Walaupun di bidang lain mikroorganisme tampil merugikan, tetapi perannya yang menguntungkan jauh lebih menonjol.
Mikroorganisme banyak dimanfaatkan untuk bahan bakar hayati (metanol dan etanol), bioremediasi, dan pertambangan. Selain itu, mikroorganisme yang ada di lingkungan berperan dalam perputaran/siklus materi dan energi terutama dalam siklus biogeokimia dan berperan sebagai pengurai (dekomposer). Mikroorganisme pada lingkungan alami juga dapat digunakan sebagai indikator baik buruknya kualitas lingkungan, baik perairan ataupun terrestrial (Ali, 2008).

2.4.1 Bakteri Pengurai Senyawa Halogen
Studi mengenai biodegradasi komponen terhalogenasi dimulai pada awal abad ke-20 terkait dengan banyaknya limbah dari senyawa terhalogenasi. Senyawa terhalogenasi bersifat toksik (Slater; J.H; Bull, A.T.; & D.J. Hardman; 1995 dalam Nurhayati, 2008). Senyawa terhalogenasi berpotensi menyebabkan keracunan, teratogenik serta karsinogenik. Metabolit yang dihasilkan dari hasil biodegradasi senyawa organoklorin sering bersifat toksik karena menghambat reaksi-reaksi kunci di metabolisme sel. Salah satu senyawa intermediate yang toksik adalah floroasetat yang potensial sebagai inhibitor pada siklus asam trikarboksilat, karena senyawa ini dapat menghambat akonitase yang berperan di siklus asam sitrat (TCA) (Peters, 1952 dalam Nurhayati, 2008).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti diketahui bahwa sejumlah mikrobia berhasil diisolasi dan diseleksi berdasarkan kemampuan tumbuh pada komponen terhalogenasi misalnya genus Pseudomonas, Alcaligenes, Rhodococcus, Hyphomicrobium (Slater, 1994 dalam Nurhayati, 2008). Beberapa mikrobia yang memiliki kemampuan tumbuh dan melakukan biodegradasi senyawa terhalogenasi karena memiliki enzim dehalogenase. Enzim yang mengkatalisis reaksi dehalogenasi disebut dehalogenase (Jensen, 1960 dan Slater, et al 1995 dalam Nurhayati, 2008). Mekanisme pemutusan halogen dari komponen aromatik meliputi berlangsung secara oksidatif, hidrolitik dan reduktif.
Mekanisme biodegradasi pestisida oleh mikrobia secara oksidatif yaitu proses terlepasnya halogen dari senyawa aromatik terhalogenasi dengan melibatkan enzim dan oksigen. Dehalogenasi hidrolitik yaitu mekanisme biodegradasi senyawa terhalogenasi dengan melibatkan enzim dan hidrogen sedangkan proses dehalogenasi reduktif adalah proses terlepasnya halogen yang merupakan gugus penentu toksisitas dari senyawa terhalogenasi dengan melibatkan enzim dan proses reaksi reduksi (Nurhayati, 2008).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati (2008) diketahui bahwa herbisida 2,4-diklorofenoksiasetat (2,4-D) dapat segera terdegradasi di tanah, sementara 2,4,5- Trikloroasam asetat (2,4,5-T) dan 4-klor-2- metilfenoksi asetat (MCPA) lebih perisiten atau tahan. Degradasi MCPA oleh bakteri di dalam tanah telah diteliti oleh berbagai peneliti dengan mengamati kemampuan melepas klorida dari subtitusi klorida pada subtrat utama senyawa organoklorin baik dari pestisida, fungisida dan herbisida (Loos, M.A.; 1975 dalam Nurhayati, 2008). Pseudomonas sp. merupakan salah satu bakteri yang dapat menggunakan MCPA sebagai sumber karbon satu-satunya ( Evans, et. al.; 1971 dalam Nurhayati, 2008), mikrobia lain yang dapat menggunakan herbisida MCPA sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya adalah Alcaligenes, Azotobacter, Pseudomonas, Acinetobacter, Xanthobacter dan Flavobacterium ( Balajee & Mahadevan, 1990 dalam Nurhayati, 2008).

Biodegradasi MCPA oleh mikrobia diawali dengan pemutusan secara oksidatif ikatan eter menghasilkan fenol. Reaksi berikutnya adalah terjadinya hidrolisasi katekol diikuti dengan pemutusan cincin secara ortho pada isolat Alcaligenes eutrophus JMP 134. Beberapa strain mikrobia memiliki plasmid yang memiliki gen mengkode berbagai macam enzim yang dapat mendegradasi MCPA, yang merupakan mikrobia dengan plasmid “broad range” dan dapat ditransfer secara bebas antar mikroorganisme di dalam tanah ( Don, & Pemberton, 1981 dalam Nurhayati, 2008). Dari berbagai penelitian diketahui bahwa mikrobia memiliki serangkaian enzim kunci dari yang memiliki organisasi dan regulasi gen yang dapat mendegradasi haloaromatik. Adanya limbah terhalogenasi yang berbahaya dan melimpahnya mikrobia yang memiliki kemampuan untuk mengkatalisis proses biodegradasi senyawa terhalogenasi maka diharapkan didapatkan mikrobia yang dapat digunakan sebagai agen pembersih tanah dan air yang terkontaminasi komponen aromatik terhalogenasi (Nurhayati, 2008).




BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Studi Kasus
Pencemaran di wilayah pesisir perairan Pantai Utara Jawa di sebabkan oleh limbah industri dan peningkatan penggunaan bahan petisida dalam bidang pertanian. Sebagian besar komposisi limbah industri berupa garam-garam dari berbagai senyawa halogen seperti fluor, chlor, brom, iod dan astatin. Selain itu senyawa herbisida juga menjadi bahan pencemar perairan Pantai Utara Jawa, yang mana senyawa herbisida yang sering digunakan adalah 4-klor-2- metilfenoksi asetat (MCPA).
Pencemaran ini tentunya menimbulkan dampak yang sangat besar bagi ekosistem perairan Pantai Utara Jawa. Terumbu karang sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir paling produktif juga mendapat ancaman pencemaran ini, selain keberadaan makhluk laut lainnya. Untuk itu tentunya diperlukan suatu pendekatan teknologi dan upaya pelestarian dalam menjaga keberadaan ekosistem terumbu karang tersebut. Penggunaan bioteknologi, salah satunya bakteri karang menjadi upaya yang tepat dalam mengurangi pencemaran yang diakibatkan oleh senyawa MCPA.
Kemajuan ilmu dan teknologi telah berhasil mengembangkan suatu sistem katalis biologi dalam mengelola limbah berbahaya untuk mendegradasi, mendetoksifikasi atau mengakumulasikan polutan tersebut, contohnya penggunaan bakteri karang. WSSA (1989) dalam Harpeni (2006) melaporkan bahwa MCPA dapat didegradasi di perairan melalui proses biodegradasi dan fotodegradasi. Sehingga keberadaan bakteri pendegradasi herbisida organoklorin (MCPA) yang berasosiasi dengan karang dapat menjadi alternatif pemecahan masalah pencemaran ini.

3.2 Isolasi Bakteri Karang
Metode yang digunakan dalam mengisolasi bakteri karang adalah metode yang dilakukan oleh Chutiwan (1994) dalam Harpeni (2006). Karang yang diambil dari lokasi sampling langsung ditempatkan di dalam plastik steril kemudian jaringannya dikerok 1 gram menggunakan alat pengerok khusus dan dihomogenkan dengan 9 ml air laut steril yang selanjutnya dilakukan seri pengenceran. Diambil 1 ml suspensi homogen dari masing-masing karang, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml air laut steril, dikocok hingga homogen dan diperoleh pengenceran 10-1. Selanjutnya dari pengenceran 10-1 diambil 1 ml contoh air dengan menggunakan pipet steril, yang kemudian dimasukkan ke dalam 9 ml air laut steril dan diperoleh pengenceran 10-2. Masing-masing diambil 80 μl contoh air, dimasukkan ke dalam masing-masing cawan petri steril yang berisi Zobell 2216E dan disebarkan hingga merata. Cawan petri tersebut dibungkus dengan kertas pembungkus dan diinkubasikan selama 2 x 24 jam pada suhu kamar. Koloni bakteri yang tumbuh pada permukaan agar tersebut, kemudian dipisahkan dengan metode goresan (streak method) sehingga diperoleh isolat bakteri pembentuk biofilm primer yang berupa kultur murni (Harpeni, 2006).

Proses isolasi bakteri karang bertujuan untuk mendapatkan kultur murni dari hasil pengambilan sampel karang dari lokasi sampling. Dimana hal ini berguna untuk menyeleksi bakteri karang yang berasosiasi dengan karang, untuyk mendapatkan isolat yang baik. Ini tentunya untuk memudahkan pengembangbiakan bakteri karang, sehingga pendegradasian senyawa MCPA menjadi maksimal.

3.3 Proses Uji Degradasi oleh Bakteri Karang
Terdapat 2 uji degradasi penggunaan isolat murni bakteri karang dalam kemampuannya untuk mendegradasi senyawa MCPA. Yang pertama adalah uji degradasi kualitatif bakteri karang pada media indikator, dimana isolat murni dengan indikator media EMBA yang mengandung 200 mg MCPA, yang kemudian dilarutkan dalam 1 liter air dengan pH 7,0. Isolat murni ditanam pada media EMBA dan diinkubasi selama 24 jam dan hasilnya terjadi perubahan warna koloni menjadi merah. Ini menunjukkan bahwa isolat mampu mendegradasi senyawa MCPA.
Sedangkan yang kedua adalah uji degradasi pada media cair. Media yang digunakan mengandung 2,5 gram bacto-peptone dan 0,5 gram yeast extract + 80 miligram/liter MCPA per 1 liter air laut. Media tersebut terlebih dahulu dilarutkan sehingga menjadi homogen dengan cara dipanaskan pada magnetic stirrer hot plane, dan didapatkan ph antara 7,5 – 7,6.

3.3.1 Proses Penguraian
Biodegradasi MCPA oleh mikrobia, contohnya bakteri karang diawali dengan pemutusan secara oksidatif ikatan eter menghasilkan fenol. Reaksi berikutnya adalah terjadinya hidrolisasi katekol diikuti dengan pemutusan cincin secara ortho pada isolat. Beberapa strain mikrobia memiliki plasmid yang memiliki gen mengkode berbagai macam enzim yang dapat mendegradasi MCPA, yang merupakan mikrobia dengan plasmid “broad range” dan dapat ditransfer secara bebas antar mikroorganisme di dalam tanah ( Don, & Pemberton, 1981 dalam Nurhayati, 2008). Dari berbagai penelitian diketahui bahwa mikrobia memiliki serangkaian enzim kunci dari yang memiliki organisasi dan regulasi gen yang dapat mendegradasi haloaromatik. Adanya limbah terhalogenasi yang berbahaya dan melimpahnya mikrobia yang memiliki kemampuan untuk mengkatalisis proses biodegradasi senyawa terhalogenasi maka diharapkan didapatkan mikrobia yang dapat digunakan sebagai agen pembersih tanah dan air yang terkontaminasi komponen aromatik terhalogenasi.

3.4 Faktor yang Mempengaruhi
Keberadaan pencemaran di laut yang diakibatkan oleh pencemaran penggunaan bahan herbisida MCPA, menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi dalam proses penguaraian/pendegradasian oleh bakteri karang.
Proses penguraian yang terjadi pada senyawa herbisida MCPA dengan bakteri karang dipengaruhi oleh kemampuan degradasi yang tinggi dan sensitivitas yang rendah terhadap MCPA. Hal ini sebelumnya dilakukan penyeleksian isolat bakteri, gunanya untuk mendapatkan isolat yang memiliki karakter yang paling baik. Selain itu MCPA merupakan sumber karbon satu-satunya, sehingga bakteri karang dapat menggunakannya sebagai sumber makanannya.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari penulisan analisis ini adalah :
1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.19/1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.
2. Masalah pencemaran yang paling besar di banyak tempat di Indonesia adalah limbah cair domestik dan industri.
3. Salah satu solusi yang sekarang sedang marak digunakan adalah penggunaan mikoorganisme sebagai pengurai senyawa berbahaya dalam limbah industri, khususnya pencemaran perairan.
4. Bakteri karang yang berasosiasi dengan terumbu karang diyakini dapat mendegradasi senyawa herbisida MCPA, hal ini berdasarkan penelitian yang menunjukkan bahwa kemampuan bakteri karang yang memiliki daya degradasi tinggi dan sensitivitas yang rendah terhadap senyawa herbisida MCPA.

4.2 Saran
Peran mikroorganisme dalam mendegradasi limbah tentunya harus diawasi penggunaannya, agar keberadaan mikroorganisme tersebut tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan dan organisme hidup lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Puspitaningrom, Alvie. 2008. Pemanfaatan Limbah Activated Alumina dan Sand Blasting PT. PERTAMINA UP IV Cilacap Sebagai Bahan Pembuatan Souvenir Dengan Teknik Solidifikasi.
http://lemlit.unila.ac.id/file/Prosiding/ProsidingI2006.pdf
Diakses tanggal 27 Februari 2010

Volk, Wesley A., dan Wheeler, Margaret F. 1993. Mikrobiologi Dasar Jilid 1. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Misran, Erni. 2002. Aplikasi Teknologi Berbasiskan Membran Dalam Bidang Bioteknologi Kelautan: Pengendalian Pencemaran.
http://www.pdfqueen.com/html/aHR0cDovL2xpYnJhcnkudXN1LmFjLmlkL2Rvd25sb2FkL2Z0L2tpbWlhLWVybmkucGRm
Diakses tanggal 28 Februari 2010

Ali, Iqbal. 2008. Peran Mikroorganisme dalam Kehidupan.
http://iqbalali.com/2008/02/18/peran-mikroorganisme-dlm-kehidupan/
Diakses tanggal 28 Februari 2010

Nurhayati. 2008. Uji Ketahanan Bakteri Dehalogenasi pada Subtrat Herbisida KMCPA Formula.
http://eprints.undip.ac.id/1985/1/Bioma_Nurhayati_Juni_08.pdf
Diakses tanggal 28 Februari 2010













LAMPIRAN